WOSM

WOSM

Minggu, 13 Maret 2011

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2000 TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2000
TENTANG
PENCARIAN DAN PERTOLONGAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan
Pasal 94 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, pelu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pencarian dan Pertolongan,
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Nomor 53 Tahun 1992,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481);
3. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 1992,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pencarian dan pertolongan untuk selanjutnya disebut SAR (Search and Rescue) adalah usaha dan kegiatan yang
meliputi :
a. mencari, menolong dan menyelamatkan jiwa manusia yang hilang atau menghadapi bahaya dalam musibah
pelayaran dan atau penerbangan;
b. mencari kapal dan atau pesawat udara yang mengalami musibah;
2. Pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan di perairan, kepelabuhanan serta keamanan
dan keselamatannya;
3. Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan wilayah udara, pewsawat udara, Bandar
udara, angkutan udara, kemanan dan keselamatan penerbangan serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang
terkait;
4. Musibah pelayaran atau penerbangan adalah kecelakaan yang menimpa kapal dan atau pesawat udara dan tidak
dapat diperkirakan sebelumnya serta dapat membahayakan atau mengancam keselamatan jiwa manusia;
5. Potensi SAR adalah sumber daya manusia ,sarana, dan prasarana yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang
kegiatan operasi SAR;
6. Unsur SAR (SAR Unit/SRU) adalah potensi SAR yang sudah terbina dan atau siap utnuk digunakan dalam
kegiatan operasi SAR;
7. Operasi SAR adalah :
a. Segala upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mencari, menolong dan menyelematkan para korban
sebelum mengadakan penanganan berikutnya;
b. Rangkaian kegiatan yang terdiri dari 5(lima) tahap yaitu tahap menyadari, tahap tindak awal, tahap
perencanaan, tahap operasi dan tahap akhir penugasan.
8. Evakuasi adalah kegiatan memindahkan korban musibah pelayaran dan/atau penerbangan serta bencana dan
musibah lainnya dari lokasi bencana/musibah ke tempat penampunan pertama untuk tindakan pengananan
berikutnya;
9. Korban adalah orang yang mengalami penderitaan, meninggal atau hilang akibat dari musibah pelayaran,
penerbangan atau bencana dan musibah lainnya;
10. Badan SAR Nasional selanjutnya disebut Basarnas adalah instansi pelaksana tugas di bidang pencarian dan
pertolongan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri;
11. Menteri adalah yang bertanggung jawab di bidang SAR.
BAB II
PEMBINAAN DAN PENGERAHAN POTENSI SAR
Pasal 2
(1) Menteri bertanggung jawab atas pembinaan dan pengerahan Potensi SAR;
(2) Pelaksanaancpengerahan Potensi SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (!) dilakukan oleh Basarnas.
Pasal 3
(1) Pembinaan potensi SAR sebagaimana dimaksud Pasal 2 meliputi :
a. Pengaturan;
b. Pengawasan; dan
c. Pengendalian;
(2) Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, meliputi :
a. Penetapan kebijaksanaan umum; dan
b. Penetapan kebijaksanaan teknis .
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (!) huruf b meliputi:
a. Pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan kebijaksanaan yang telah ditetapkan di bidang SAR; dan
b. Penyempurnaan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan yang ditetapkan di bidang SAR.
(4) Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c meliputi:
a. Pemberian arahan dan petunjuk dalam pelaksanaan kebijaksanaan yang telah ditetapkan di bidang kegiatan
pencarian dan pertolongan; dan
b. Pemberian bimbingan dan penyuluhan mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam pelaksanaan
kebijaksanaan yang telah ditetapkan di bidang kegiatan pencarian dan pertolongan.
Pasal 4
Dalam rangka pengerahan Potensi SAR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan kegiatan yang meliputi :
a. Perencanaan;
b. Pendayagunaan;
c. Pengembangan;dan
d. Pelaksanaan pengendalian
Pasal 5
(1) Untuk meningkatkan efektivitas operasi SAR, Basarnas melaksanakan pendidikan dan pelatihan SAR;
(2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan untuk mengopti,alkan kemampuan
mendeteksi dini, melakukan komunikasi, mencari, menolong dan mengevakuasi.
(3) Tata cara pendidikan dan pelatihan potensi SAR sebagimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri
Pasal 6
(1) Pengerahan potensi SAR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) disesuiakan dengan jenis musibah yang
terjadi.
(2) Dalam pelaksanaan operasi SAR, Kepala Basarnas dapat meminta pengerahan potensi SAR kepada
instansi/organisasi yang mempunyai potensi SAR.
(3) Potensi SAR yang memberikan bantuan atas permintaan Kepala Basarnas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dapat diberikan biaya penggantian sesuai kemampuan keuangan negara.
(4) Tata cara pengerahan Potensi SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan biaya penggantian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
BAB III
PELAKSANAAN OPERASI SAR
Pasal 7
(1) Basarnas wajib melakukan siaga SAR 24 (dua puluh empat) jam terus menerus untuk melakukan pemantauan
terhadap kejadian musibah pelayaran dan atau penerbangan.
(2) Pelaksanaan siaga SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung dengan peralatan deteksi dini,
telekomunikasi dan system informasi beserta sarana penunjangnya yang dapat digunakan selama 24 (dua puluh
empat jam);
(3) tata cara pelaksanaan siaga SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 8
Pelaksanaan operasi SAR didukung dengan fasilitas dan alat peralatan SAR yang memadai.
Pasal 9
(1) Penanganan terhadap musibah pelayaran yang terjadi di daerah lingkungan kerja dan atau daerah lingkungan
kepentingan pelabuhan menjadi tanggung jawab pejabat yang berwenang di daerah lingkungan kerja dan atau
daerah lingkungan kepentingan pelabuhan.
(2) Penanganan terhadap musibah penerbangan yang terjadi di daerah lingkungan kerja dan atau daerah lingkungan
kepentingan bandar udara menjadi tanggung jawab pejabat yang berwenang di daerah lingkungan kerja dan atau
daerah lingkungan kepentingan bandar udara.
Pasal 10
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menyatakan penghentian atau selesai terhadap operasi SAR dengan
pertimbangan :
a. Seluruh korban telah berhasil ditemukan, ditolong dan dievakuasi;
b. Setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak dimulainya operasi SAR tidak ada tanda-tanda korban akan
ditemukan.
(2) Operasi SAR yang telah dihentikan atau dinyatakan selesai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuka
kembali dengan pertimbangan adanya informasi baru mengenai indikasi diketemukannya lokasi dan atau
korban musibah.
(3) Operasi SAR dapat diperpanjang pelaksanaanya atas permintaan dengan biaya ditanggung oleh pihak yang
meminta.
(4) Tata cara penghentian atau pernyataan selesai operasi SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
perpanjangan pelaksanaan operasi SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 11
Penanganan musibah yang terjadi di wilayah yang berbatasan dengan wilayah negara lain dapat dilakukan
berdasarkan perjanjian kerjasam bilateral atau multilateral.
Pasal 12
(1) Unsur SAR Indonesia yang akan ditugaskan untuk pelaksanaan operasi SAR ke wilayah negara lain terlebih
dahulu harus mendapatkan izin (clearence) dari negara yang bersangkutan.
(2) Untuk mendapatkan izin (clearence) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Basarnas melakukan koordinasi
dengan Rescue Coordination Centre (RCC) negara yang bersangkutan atau perwakilan negara tersebut di
Indonesia.
Pasal 13
(1) Unsur SAR negara lain yang akan ditugaskan untuk pelaksanaan operasi SAR ke wilayah negara kesatuan
Republik Indonesia, terlebih dulu wajib mendapatkan izin (clearence) dari negara Republik Indonesia.
(3) Untuk mendapatkan izin (clearence) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Rescue Coordination Centre (RCC)
atau perwakilan negara yang bersangkutan melakukan koordinasi dengan Basarnas atau perwakilan negara
tersebut di Indonesia.
Pasal 14
(1) Unsure SAR negara lain yang didatangkan atas permintaan Pemerintah Republik Indonesia, biaya
operaionalnya menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia.
(2) Unsure SAR negara lain yang atas permintaannya sendiri membantu pelaksanaan operasi SAR di wilayah
Republik Indonesia maka biaya operasionalnya tidak menjadi tanggung jawab pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 15
Potensi Sar berupa kapal dan atau pesawat udara yang diikutsertakana dalam operasi SAR diberikan kemudahan dan
prioritas pelayanan untuk kelancaran operasi SAR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB IV
WILAYAH TANGGUNG JAWAB SAR
Pasal 16
Wilayah tanggung jawab SAR meliputi seluruh wilayah territorial Republik Indonesia.
Pasal 17
(1) Untuk kepentingsn peningkatan efisiensi pelaksanaan operasi SAR wilayah territorial Republik Indonesia
ditetapkan pembagian wilayah tanggung jawab SAR.
(2) Pembagian wilayah tanggung jawab SAR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
Semua peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai
pencarian dan pertolongan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 20
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1972 tentang Pencabutan
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 1951 tentang Dinas Pencari dan Pemberi Pertolongan untuk Kapal-Kapal
Laut dan Udara yang Mendapat Kecelakaan (Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1972) dinyatakan tidal berlaku.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan .
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Pebruari 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Pebruari 2000
Pj.SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BONDAN GUNAWAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 25
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2000
TENTANG
PENCARIAN DAN PERTOLONGAN
UMUM
Transportasi mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis untuk mem perlancar roda perekonomian,
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mempengarui semua aspek kehidupan bangsa dan negara dalam
rangka memantapkan perwujudan Wawasan Nusantara dan meningkatkan Ketahanan Nasional serta memperkuat
hubungan antar bangsa.
Menyadari arti penting peranan tersebut, maka penyediaan jasa trasportasi harus mencerminkan pelayanan angkutan
yang aman, cepat, lancar, tertib, teratur dan selamat serta dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
Dalam rangka meningkatkan rasa aman bagi penggina jasa transportasi khusunya angkutan laut dan udara mak perlu
ditunjang dengan kegiatan pencarian dan pertolongan yang cepat, tepat dan andal.
Selain itu dalam rangka pembangunan hukum nasional untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum,
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1972 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 1951
tentang Dinas Pencari dan Pemberi Pertolongan untuk Kapal-Kapal Laut dan Udara yang Mendapat Kecelakaan,
perlu segera diganti dengan Peraturan Pemerintah yang baru karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang transportasi.
Atas dasar tersebut diatas, maka disusunlah Peraturan Pemerintah tentang Pencarian dan Pertolongan(search and
rescue) sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.Dengan Peraturan Pemerintah ini diharapkan agar
penyelenggaraan pencarian dan pertolongan dapat lebih bermanfaat dengan berdasarkan pada asas kemanusiaan,
tanggung jawa, keterpaduan dan kesadaran hukum.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Yang dimaksud dengan sarana operasi SAR antara lain pesawat udara, kapal, ambulance, peralatan SAR, alat-alat
berat.
Yang dimaksud prasarana SAR antara lain terminal, pelabuhan, Bandar udara, depo Pertamina, rumah sakit,
lapangan.
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Selama ini pelaksanaan pengerahan potensi SAR telah dilakukan oleh badan SAR Nasional yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 47 tahun 1979 tentang perubahan Lampiran-lampiran
3,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15 dan 16 Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1974 tentang Susunan Organisasi
Departemen.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan SAR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini tidak mengurangi tanggung
jawab untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia masing-masing instansi/organisasi potensi SAR.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan deteksi dini adalah kegiatan untuk mengetahui berita/informasi terjadinya musibah
pelayaran dan atau penerbangan secapat mubgkin.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Pengerahan potensi SAR disesuaikan jenis musibah yang terjadi dimaksudkan untuk menghindari pengerahan
potensi SAR yang tidak efektif.
Ayat (2)
Yang dimaksud instansi/organisasi yang mempunyai potensi SAR antara lain instansi pemerintah (sipil,TNI dan
POLRI), organisasi kemasyarakatan dan swasta.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sarana penunjang antara lain genset dan komp uter.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Pejabat yang berwenang di daerah lingkungan kerja dan atau lingkungan pelabuhan adalah pelaksana fungsi
keselamatan pelayaran atau Kepala Kantor Pelabuhan.
Ayat (2)
Pejabat yang berwenang di daerah lingkungan kerja Bandar udara dan atau kawasan keselamatan operasi
penerbangan saat ini adalah Kepala Kantor Bandara Udara atau Kepala Cabang Badan Usaha Kebandarudaraan.
Pasal 10
Ayat (1)
Penghentian operasi SAR diperlukan untuk menghindari pelaksanaan SAR yang berlarut-larut dan memberikan
kepastian hokum.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penghentian atau pernyataan selesainya operasi SAR dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak dimulainya operasi
SAR dilakukan dengan pertimbangan tidak adanya tanda-tanda korban ditemukan yang secara normal daya tahan
manusi tanpa makan dan minum hanya 7 (tujuh) hari.
Apabila korban masih hidup, diperkirakan korban dengan segala upaya telah menemukan suatu tempat yang dapat
memberikan pertolongan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan permintaan Pemerintah Republik Indonesia adalah permintaan yang dilakukan oleh Kepala
Basarnas selaku koordinator SAR.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Pengertian kemudahan dan prioritas yang diatur dalam ketentuan ini antara lain pengisian bahan bakar minyak,
urusan kepabeanan, keimigrasian, pengisian air dan pendaratan
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Pengertian pembagian wilayah tanggung jawab SAR sebagaimana dalam ketentuan ini adalah wilayah tanggung
jawab unit pelaksana teknis Basarnas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Kegiatan pencarian dan pertolongan di luar musibah pelayaran dan penerbangan bukan merupakan tugas pokok
Basarnas namun demikian setiap saat Basarnas siap membantu apabila diminta oleh instansi yang bertanggung
jawab di bidang tersebut.
Bencana adalah suatu peristiwa yang mendadak atau secara berlanjut mengakibatkan dampak terhadap pola
kehidupan normal yang disebabkan oleh alam dan atau manusia yang mengakibatkan timbulnya korban manusia,
kerugian harta benda, kerusakan sarana/prasarana, lingkungan dan atau fasailitas umum serta menimbulkan
gangguan terhadap tat kehidupan dan penghidupan manusia.
Sedangkan yang dimaksud dengan musibah lainnya antara lain kejadian yang diakibatkan oleh jatuhnya benda
antarariksa dan kecelakaan transportasi darat.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3938
SUMBER :LEMBAR LEPAS SEKNEG